Foto: Andre Navrada |
Bagi seorang Public Relation (PR), pekerjaan
mencermati surat pembaca di media massa terkait institusinya tentu sudah tidak
asing lagi. Bahkan ada yang menganggap pekerjaan ini sebagai momok menakutkan
ketika surat pembaca itu berisi keluhan atau cacian pada institusi yang
diwakili sang petugas PR. Sebuah mimpi buruk bila instansinya mendapatkan
kritikan atau complain dari konsumen. Sebab, surat pembaca dinilai sebagai alat
koreksi konsumen yang dapat menjustifikasi sebuah institusi baik atau buruk.
Namun berbeda dengan Asep Tatang yang menangani
bagian PR PT
Telkom sejak tahun 1992. Ia malah menunggu-nunggu adanya surat
pembaca dari pelanggan, karena dengan media tersebut ia dapat menjalin
komunikasi dengan konsumen. Kendati isi surat pembaca itu mengkritik kebijakan
PT. Telkom sekalipun, ia menganggapnya sebagai feedback bagus untuk
introspeksi.
“Saya sampai menunggu-nunggu adanya surat pembaca,
karena dengan media itu kami bisa langsung berkomunikasi dengan pelanggan. Ini
menjadi alat sosialisasi dan promosi gratis yang tidak perlu mengeluarkan biaya
dibandingkan sosialisasi melalui iklan atau pengumuman,” ungkapnya.
Memanfaatkan surat pembaca sebagai alat komunikasi
dan promosi aganya belum banyak dilakukan PR sebuah instansi. Padahal
keuntungannya sangat besar, sebab surat kabar akan menyediakan secara gratis
kolom hak jawab dari instansi yang mendapatkan surat pembaca. “Surat pembaca
bukanlah suatu beban. Pada awalnya saya menerapkan prinsip : Kalau ada yang
bertanya satu, saya akan jawab dua. Kalau menanyakan dua, saya jawab empat.
Tapi sekarang : Kalau orang menanyakan satu atau dua hal, semua saya akan jawab
selengkap-lengkapnya,” kata Asep Tatang.
Pria kelahiran kota dodol Garut, 8 April 1966 ini benar-benar memanfaatkan surat
pembaca dengan baik. Untuk mengantisipasi agar jawaban PT Telkom atas surat
yang dikirimkan pembaca ke media massa tidak dipenggal redaksi media
bersangkutan, Asep memiliki trik tersendiri. Dia tidak membuat jawaban per
poin, tetapi tulisan disusun sambung menyambung antarparagraf sehingga bila
satu kata saja dihapus, maka tulisan sudah tidak nyambung lagi.
“Dengan penjelasan yang lengkap, banyak orang yang
tadinya ingin bertanya dan belum mengirimkan surat pembaca akhirnya
mengurungkan niatnya, karena semua sudah terwakili. Bahkan pengirim surat
pembaca pun ikut membantu menjelaskan kepada orang lain. Ini respon yang sangat
positif. Buktinya, PT Telkom sudah cukup lama tidak mendapatkan surat pembaca,”
ujarnya.
Selain itu, Asep Tatang yang pernah 11 tahun bertugas
di Kota Medan mengungkapkan, yang paling diutamakan saat menjawab pertanyaan
pelanggan adalah kejujuran alias “blak-blakan” dan tidak menutup-nutupi.
Mengakui jika memang ada yang kurang bagus agar bisa menjadi bahan evaluasi di internal. Perbaiki
jika ada penilaian buruk, tingkatkan bila dipandang sudah bagus.
“Kalau jelek, ya saya bilang jelek. Kalau bagus, ya
bagus. Ini alat introspeksi diri, sebab kalau ditutup-tutupi justru yang rugi
institusi Telkom sendiri. Jadi, saya paparkan semua baik buruknya, apa adanya, dan
jujur-jujuran saja. Karena, esensi perusahaan adalah pelayanan untuk terus
berusaha menjadi lebih baik,” ungkapnya.
Hal ini dilandasi pemahaman Asep bahwa ketika
mengetahui kesalahan atau kekurangan diri sendiri, maka kita akan mengerti apa
yang harus dibenahi. Sebaliknya, jika kesalahan tidak diketahui dan lantas
merasa selalu benar, maka tak akan pernah ada perbaikan. Pasalnya untuk
membangun image, seorang PR membutuhkan pendekatan personal dan human
relations, sehingga terbangun komunikasi timbal balik dengan media, masyarakat,
dan konsumen.
Sempat menangani pemasaran (marketing) sebagai leader
marketing dan penjualan (sales) penjualan produk Speedy se-wilayah Sumatra,
Asep Tatang akhirnya berlabuh sebagai Manajer Komunikasi PT Telkom Regional
Jawa Barat. “Pada tahun 2011, saya dipindahkan ke Bandung dan menangani bidang
communication yang dulu bernama PR. PR lebih kepada brand image, sementara
cakupan communication lebih luas mulai komunikasi produk, propaganda, PR,
jurnalistik, bahkan advertising,” papar lulusan Jurusan Penerangan Universitas
Padjadjaran (Unpad) angkatan 1985 ini.
Bapak dua anak ini terlahir dari keluarga petani
relijius. Ia menjadi pendobrak tradisi keluarga yang kebanyakan berlatar
belakang pesantren. Namun kedua orang tuanya tidak membatasi minat dan
keinginan Asep untuk berkiprah di luar jalur pesantren, termasuk untuk tidak
terkungkung budaya Sunda yang selalu menghendaki kumpul bareng keluarga. “Kata
orang tua saya, ‘Dimanapun adalah bumi Allah, sehingga dimanapun berada tidak
jadi masalah,” kenang Asep Tatang yang semula bercita-cita menjadi dosen ini.
*Tulisan Ini Pernah Dimuat di Majalah Cyber
No comments:
Post a Comment