January 31, 2013

Asep Tatang : “Bersaudara” dengan Surat Pembaca



Foto: Andre Navrada
Bagi seorang Public Relation (PR), pekerjaan mencermati surat pembaca di media massa terkait institusinya tentu sudah tidak asing lagi. Bahkan ada yang menganggap pekerjaan ini sebagai momok menakutkan ketika surat pembaca itu berisi keluhan atau cacian pada institusi yang diwakili sang petugas PR. Sebuah mimpi buruk bila instansinya mendapatkan kritikan atau complain dari konsumen. Sebab, surat pembaca dinilai sebagai alat koreksi konsumen yang dapat menjustifikasi sebuah institusi baik atau buruk.
Namun berbeda dengan Asep Tatang yang menangani bagian PR PT
Telkom sejak tahun 1992. Ia malah menunggu-nunggu adanya surat pembaca dari pelanggan, karena dengan media tersebut ia dapat menjalin komunikasi dengan konsumen. Kendati isi surat pembaca itu mengkritik kebijakan PT. Telkom sekalipun, ia menganggapnya sebagai feedback bagus untuk introspeksi.
“Saya sampai menunggu-nunggu adanya surat pembaca, karena dengan media itu kami bisa langsung berkomunikasi dengan pelanggan. Ini menjadi alat sosialisasi dan promosi gratis yang tidak perlu mengeluarkan biaya dibandingkan sosialisasi melalui iklan atau pengumuman,” ungkapnya.
Memanfaatkan surat pembaca sebagai alat komunikasi dan promosi aganya belum banyak dilakukan PR sebuah instansi. Padahal keuntungannya sangat besar, sebab surat kabar akan menyediakan secara gratis kolom hak jawab dari instansi yang mendapatkan surat pembaca. “Surat pembaca bukanlah suatu beban. Pada awalnya saya menerapkan prinsip : Kalau ada yang bertanya satu, saya akan jawab dua. Kalau menanyakan dua, saya jawab empat. Tapi sekarang : Kalau orang menanyakan satu atau dua hal, semua saya akan jawab selengkap-lengkapnya,” kata Asep Tatang.
Pria kelahiran kota dodol Garut, 8  April 1966 ini benar-benar memanfaatkan surat pembaca dengan baik. Untuk mengantisipasi agar jawaban PT Telkom atas surat yang dikirimkan pembaca ke media massa tidak dipenggal redaksi media bersangkutan, Asep memiliki trik tersendiri. Dia tidak membuat jawaban per poin, tetapi tulisan disusun sambung menyambung antarparagraf sehingga bila satu kata saja dihapus, maka tulisan sudah tidak nyambung lagi.
“Dengan penjelasan yang lengkap, banyak orang yang tadinya ingin bertanya dan belum mengirimkan surat pembaca akhirnya mengurungkan niatnya, karena semua sudah terwakili. Bahkan pengirim surat pembaca pun ikut membantu menjelaskan kepada orang lain. Ini respon yang sangat positif. Buktinya, PT Telkom sudah cukup lama tidak mendapatkan surat pembaca,” ujarnya.
Selain itu, Asep Tatang yang pernah 11 tahun bertugas di Kota Medan mengungkapkan, yang paling diutamakan saat menjawab pertanyaan pelanggan adalah kejujuran alias “blak-blakan” dan tidak menutup-nutupi. Mengakui jika memang ada yang kurang bagus agar bisa  menjadi bahan evaluasi di internal. Perbaiki jika ada penilaian buruk, tingkatkan bila dipandang sudah bagus.
“Kalau jelek, ya saya bilang jelek. Kalau bagus, ya bagus. Ini alat introspeksi diri, sebab kalau ditutup-tutupi justru yang rugi institusi Telkom sendiri. Jadi, saya paparkan semua baik buruknya, apa adanya, dan jujur-jujuran saja. Karena, esensi perusahaan adalah pelayanan untuk terus berusaha menjadi lebih baik,” ungkapnya.
Hal ini dilandasi pemahaman Asep bahwa ketika mengetahui kesalahan atau kekurangan diri sendiri, maka kita akan mengerti apa yang harus dibenahi. Sebaliknya, jika kesalahan tidak diketahui dan lantas merasa selalu benar, maka tak akan pernah ada perbaikan. Pasalnya untuk membangun image, seorang PR membutuhkan pendekatan personal dan human relations, sehingga terbangun komunikasi timbal balik dengan media, masyarakat, dan konsumen.
Sempat menangani pemasaran (marketing) sebagai leader marketing dan penjualan (sales) penjualan produk Speedy se-wilayah Sumatra, Asep Tatang akhirnya berlabuh sebagai Manajer Komunikasi PT Telkom Regional Jawa Barat. “Pada tahun 2011, saya dipindahkan ke Bandung dan menangani bidang communication yang dulu bernama PR. PR lebih kepada brand image, sementara cakupan communication lebih luas mulai komunikasi produk, propaganda, PR, jurnalistik, bahkan advertising,” papar lulusan Jurusan Penerangan Universitas Padjadjaran (Unpad) angkatan 1985 ini. 
Bapak dua anak ini terlahir dari keluarga petani relijius. Ia menjadi pendobrak tradisi keluarga yang kebanyakan berlatar belakang pesantren. Namun kedua orang tuanya tidak membatasi minat dan keinginan Asep untuk berkiprah di luar jalur pesantren, termasuk untuk tidak terkungkung budaya Sunda yang selalu menghendaki kumpul bareng keluarga. “Kata orang tua saya, ‘Dimanapun adalah bumi Allah, sehingga dimanapun berada tidak jadi masalah,” kenang Asep Tatang yang semula bercita-cita menjadi dosen ini.

*Tulisan Ini Pernah Dimuat di Majalah Cyber

No comments:

Post a Comment