Oleh: Mulyadi Saputra
foto: www.ittelkom.ac.id |
Dalam ajang yang diikuti 48 robot dan 130 tim dari
Amerika, Israel, China, Portugal, dan Indonesia ini, robot mereka yang bernama
Hamazar ini, mampu menggungguli peserta lainnya khususnya dalam kategori robot
beroda. Tak ayal, mereka pun mendapat apresiasi dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) dan sempat tampil di berbagai media massa. Indonesia
memang sudah dikenal di kalangan peserta lomba TCFFHRC, karena setiap tahunnya
perwakilan dari Indonesia selalu
meraih juara. Bahkan, bendera Indonesia pun sudah terpampang dalam buku TCFFHRC berdampingan dengan negara-negara lainnya.
meraih juara. Bahkan, bendera Indonesia pun sudah terpampang dalam buku TCFFHRC berdampingan dengan negara-negara lainnya.
“Orang tua pastinya sangat bangga, karena kemarin kami
sempat masuk televisi,” ungkap Candra. Sementara Dian menuturkan, saking
bangganya orang tuanya sempat menangis saat melihat dirinya diwawancarai sebuah
stasiun televisi swasta. “Dukungan orang tua memang luar biasa, karena saya
masuk ke IT Telkom saja pamit dulu sama mereka,” lanjut mahasiswa kelahiran
Klaten, 21 Juli 1991 ini.
Melihat keberhasilan tiga mahasiswa ini, tentu tak
dapat dilepaskan dari hobi mereka ‘ngulik’ di Laboratorium Robotik yang ada di
IT Telkom. Meski ketiganya berasal dari program studi (prodi) yang berbeda,
namun tak menyurutkan semangat mereka untuk saling berbagi informasi dan serius
menekuni dunia robot. Ketiganya pun mampu berbagi tugas dalam pengerjaan
robotnya. Candra yang berasal dari Prodi Teknik Elektron angkatan 2008 serius
menggeluti progamming robot. Adapun Dian yang berasal dari Prodi Teknik
Komputer angkatan 2008 memilih menjadi mekanik untuk robotnya. Sementara Andrean
yang satu angkatan dan prodi dengan Candra, diposisikan dalam hal bidang
elektronika robotnya. Dengan pembagian tugas seperti ini, masing-masing
personel dapat saling melengkapi dan membantu.
Trio ini sebelum berhasil dalam TCFFHRC 2012, sudah
beberapa kali mengikuti kontes robot di Indonesia baik tingkat regional maupun
nasional. Jadi, pengalaman mereka dalam kompetisi robot sudah makan asam garam.
Meski begitu, Dian sempat merasa minder saat mengikuti TCFFHRC. “Waktu
percobaan pertama, kami merasa minder karena robot dari China dan Israel terutama,
gerakannya sangat cepat. Bahkan, robot dari China sudah menggunakan beberapa komponen
seperti sensornya yang biasa digunakan industri,” papar Dian.
Candra menambahkan, beberapa tim asing memang
menggunakan komponen yang biasa digunakan untuk industri. Tak heran,
performanya sangat cepat. “Untuk prosesornya saja, China menggunakan ukuran 32
byte dan biasa digunakan di industri. Sementara kami hanya menggunakan yang 8
byte. Meski begitu, robot mereka ada kelemahannnya. Mereka sepertinya kurang
memperhatikan sistem reset error-nya,
jadi sekali trial langsung error
meski gerakannya cepat. Sementara kami meski lambat, namun bisa menanggulangi error,” jelasnya.
Ketiganya mengaku, ada beberapa pelajaran dan kesan
yang didapat dari kompetisi berkaliber internasional, di antaranya kedisiplinan
dan sikap pantang menyerah. Selain itu, Candra menggarisbawahi perlunya sikap
sportif dan keterbukaan. “Suasana pertandingan di sana lebih santai, karena
yang ditonjolkan adalah proses pembelajarannya bukan ambisi untuk menang. Di
sana, suasana berbaginya lebih terasa, jadi sesama tim sharing mengenai robot lebih terbuka. Sementara saat kontes di
sini, sulit sekali bahkan ada tim yang sangat tertutup, mungkin takut ditiru. Jadi,
ada perbedaan orientasi, kalau di sini orientasinya untuk menang, kalau di sana
orientasinya belajar,” ujar mahasiswa kelahiran Yogyakarta, 1 Juni 1990 ini.
Andrean menambahkan, dirinya sempat mengesampingkan
kegiatan kuliahnya demi menekuni bidang robotik di lab. Meski begitu, bukan
berarti, ia dan kedua rekannya mengabaikan kuliahnya sama sekali. “Sebelum ikut
lomba, saya memfokuskan diri pada bidang robotik. Dulu, kami ikut kuliah hanya untuk
ikut quiz dan ujian. Dulu dispensasi
dari kampus hanya berupa kehadiran. Tapi, saya sampaikan jangan
setengah-setengah, kerja itu harus totalitas. Dan, saat lomba ketika ada yang
tidak dimengerti, saya banyak sharing
dengan tim lain maupun dengan anggota tim sendiri,” tutur mahasiswa kelahiran Klaten,
19 Agustus 1990 ini.
Diakui Candra, kini pihak kampus sudah memberikan
dispensasi untuk kehadiran kuliah dan nilai untuk beberapa mata kuliah yang
terkait bidang robotik. “Ada beberapa dosen yang memberi nilai bagus. Misalnya
mata kuliah Microcontroller, kami
sudah dianggap menguasai karena memang robot salah satunya menggunakan hal itu.
Hanya untuk nilai praktik dan ujian kami tetap harus mengikuti seperti
mahasiswa lainnya. Tapi memang kegiatan pengembangan robot, tidak sepenuhnya
menganggu kuliah karena biasanya dikerjakan sepulang kuliah atau di malam hari.
Selain itu, robot tidak akan membuat kita bodoh,” tegasnya.
Untuk ke depannya, Trio Hamazar ini mungkin tak akan
kembali memperkuat tim robot IT Telkom dalam berbagai kompetisi robot. Tiga mahasiswa
senior ini ingin memberi kesempatan bagi adik-adik kelasnya untuk turut
berkiprah dalam mengembangkan bidang robotik di Indonesia. Pihak IT Telkom pun sudah
menyediakan kompensasi bagi mahasiswa berprestasi seperti ketiganya berupa
beasiswa. Meski begitu, ketiganya berharap ada perhatian dari berbagai pihak
terkait untuk membantu pengembangan robot di IT Telkom atau Indonesia pada
umumnya.
“Saya sangat suka dengan bidang robotik, karena itu
nanti saya ingin bekerja dan melakukan riset di bidang robotik. Untuk itu,
laboratorium ini jangan dibiarkan begitu saja. Ketika sudah menang, tidak ada
tindak lanjutnya. Tapi saya berharap, laboratorium ini bisa memproduksi robot
yang bisa dijual. Jadi, lab. ini tak hanya memproduksi robot untuk lomba, namun
bisa menghasilkan produk komersil,” harap Dian.
No comments:
Post a Comment